Oleh-oleh WFH: Catalytic Leadership ...


WFH menjadikan kita jadi tanggap dengan semua informasi. Mengapa demikian karena kita jadi sempat nonton TV di siang hari disela-sela kita bekerja. Kalau waktu WFO, kita ga sempat meliat berita TV atau acara apapun karena tidak ada TV di ruang kerja.


Yang menarik buat saya adalah bahasan mengenai respon para pemimpin dunia dalam menghadapi wabah Covid-19. Ada pemimpin yang dipuji karena statistik yang positif dan meninggal sangat rendah dan ada yang dicerca karena dianggap lambat membuat rencanan penanganan. Belum lagi komentar para netter yang sangat nyinyir apalagi pemimpin saat ini bukanlah calon pemimpin yang dia pilih saat pemilu yang lalu. Pemimpin yang bagaimana sebenernya yang cocok saat ini?


Salah satu gaya kepemimpinan yang dianggap cocok dalam era kreatif ini adalah Catalytic Leadership. Salah satu lho .. masih banyak tipe kepemimpinan yang lain. Yuk kita simak penjelasannya ...

Catalytic Leadership merupakan gabungan berbagai tipe leadership yang diterapkan secara bersamaan oleh seorang leader untuk membantu setiap elemen organisasi/institusi yang spesifik untuk mencapai tujuan organisasi yang optimal pada kondisi dan situasi terkini khususnya situasi ekternal (endogen/eksogen) dan kondisi sumber daya manusia (SDM) yang tersedia dengan memanfaatkan berbagai tools baik formal maupun non formal seperti pendekatan keagamaan atau adat istiadat. Mengingat obyek leadership adalah sumber daya manusia maka Catalytic Leadership menempatkan SDM sebagai asset yang bernilai atau human capital sebagaimana pandangan Greer (1). 


Lebih jauh Greer berpandangan bahwa SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (mirip dengan portfolio investasi) dan bukan dianggap sebagai liability (beban/cost). Pengalaman saya bekerja di berbagai satuan kerja, setiap SDM yang ditempatkan memiliki sifat (introvert/ekstrovert atau sifat dasar manusia lainnya) dan latar belakang (pengalaman kerja, level pendidikan, dan kompetensi) yang berbeda-beda selain fungsi (tugas, wewenang dan produk) setiap unit kerja berbeda-beda, membutuhkan pendekatan personal yang berbeda agar SDM yang ada memiliki performansi optimal. Kadang di suatu situasi/fungsi, saya harus memberikan contoh atau melaksanakan sendiri didepan bawahan, kadang cukup dengan himbauan atau dorongan motivasi yang bersifat verbal. Fleksibilitas yang terukur dalam mengelola SDM untuk mencapai tujuan organisasi yang optimal menjadi kata kunci penerapan Catalytic Leadership.


Bagian pertama Catalytic Leadership yaitu humble, yang mengacu kepada tipe Servant Leadership, menurut pendapat saya, dalam penerapannya cenderung mirip prinsip budaya/adat istiadat Jawa yaitu “memanusiakan manusia” atau “nguwongke”. 


Prinsip ini juga dikenal dengan “Ojo Dumeh” yang berarti janganlah kita hidup sombong atau mentang mentang, hidup harus Andhap Asor atau rendah hati. Menjadi humble, menurut pengalaman saya, lebih berhasil diterapkan pada fungsi-fungsi yang bersifat analisis dan pengawas pelaksanaan kebijakan sehingga ketika saya mensejajarkan diri dengan bawahan/sub-ordinate atau dengan kata lain menjadikan bawahan/sub-ordinate sebagai partner yang setara bahkan menganggap penting kompetensi yang dimiliki oleh bawahan/sub-ordinate dapat menimbulkan kepercayaan diri dan rasa hormat yang tulus (respect) dari bawahan/sub-ordinate kepada saya selaku atasan mereka. 


Bagian kedua dari Catalytic Leadership yaitu hungry, yang mengacu kepada Situational Leadership, menurut pendapat saya, hampir sama dengan prinsip “Ojo Kagetan”. Prinsip “Ojo Kagetan” bermakna kita harus mawas diri “eling lan waspodo” terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita serta bermakna perlunya persiapan diri menghadapi perubahan sekeliling. Kita harus selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Pengalaman saya mengelola fungsi-fungsi yang membutuhkan kedisiplinan tinggi atau ketergantungan terhadap pihak eksternal seperti ketika menghadapi ketidak-pastian hasil PILKADA di suatu daerah dalam rangka implementasi Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), misalnya bantuan teknis kepada kelompok tani yang direkomendasikan Pemerintah Daerah, membutuhkan beberapa langkah antisipatif yang terencana dengan berbagai skenario situasi. Dengan adanya beberapa skenario langkah-langkah antisipatif terencana, apapun perubahan yang terjadi di Pimpinan Daerah tidak memberikan dampak terhadap keberhasilan implementasi PSBI tersebut.


Bagian ketiga Catalytic Leadership yaitu hustle, yang mengacu kepada Transformational Leadership, menurut pendapat saya, mirip dengan prinsip “Sugih Tanpo Bondho, Digdoyo Tanpo Adji-adji, Nglurug Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake sebagaimana tercantum dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV dimana proses penyamaan visi dalam melaksanakan pekerjaan menjadi hal penting yang harus dilakukan agar bawahan bahkan atasan dapat berjalan secara seiring seperti mode autopilot. Pengalaman saya dalam menggerakkan fungsi yang berada di luar kewenangan saya, selama saya dapat mengkomunikasikan visi, misi, dan tujuan dari suatu kegiatan yang dapat diterima oleh logika bawahan tanpa adanya hidden agenda maka mereka dapat bersama-sama bergerak memenuhi visi, misi, dan tujuan dari kegiatan tersebut. 

Apakah tipe leadership ini cocok untuk menghadapi situasi wabah Covid-19 saat ini? Saya pikir sebaiknya kita tidak menilai seorang pemimpin hanya dari teori saja, tapi lihatlah upayanya ...

Salam Nyata Berkarya bagi Negeri


[1] Greer, Charles R. 1995. Strategy and Human Resources: a General Managerial Perspective. New Jersey: Prentice Hall


#perpustakaanbankindonesia #worldbookday #shareamillionstories #digitallearning

Komentar