Mencoba Memahami Kembali Misi dan Visi Bank Sentral (baca: Bank Indonesia) dalam Perekonomian
Halo para netter ... Kali ini saya akan membahas tentang Bank Sentral. Fungsi Bank Sentral dalam perekonomian adalah sebagai otoritas moneter, sedangkan otoritas fiskal dipegang oleh Pemerintah (silahkan baca penjelasan terbaru dan komprehensif dari Bank for International Settlements - BIS https://www.bis.org/publ/bppdf/bispap76.pdf).
Silakan menyimak ....
1. Perkembangan
Kelembagaan Bank Sentral
Bank Indonesia
memiliki kewenangan menjalankan fungsi moneter dalam bidang perekonomian
berdasarkan Amandemen ke 4 UUD 1945 pasal 23 B dan pasal 23 D. Terlihat jelas
bahwa BI berasa sejajar dengan Lembaga Negara lainnya dan sedikit dibawah
Lembaga Tinggi Negara (BPK selaku Pemeriksa) dan Eksekutif serta Legislatif
(MPR dan DPR). Posisi dalam hukum ketatanegaraan ini menjamin terselenggaranya
koordinasi pelaksanaan tugas BI secara independen (secara institusi, fungsi,
organisasi dan anggaran, dan personal) sesuai konsensus yang dianut oleh
sebagian Bank Sentral dewasa ini dalam mendukung perekonomian melalui
tercapainya kestabilan harga dan sistem keuangan.
Kelembagaan Bank Sentral terus berkembang secara dinamis, terutama
dipengaruhi faktor tuntutan pembangunan ekonomi domestik suatu negara dan
perubahan struktur keuangan global.
Setidaknya terdapat tiga periode perubahan
fungsi Bank Indonesia sejak berdiri, yaitu melalui UU no.13 th 1968 tentang
Bank Sentral, UU No.3 Th 2004 tentang Perubahan UU BI, serta PERPPU No.2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua UU BI.
Pada periode 1968 – 1998, BI berfungsi
sebagai bank komersial dengan fungsi bank sirkulasi dan pengawasan bank. BI
juga menjadi bagian dari pemerintah dan diminta untuk membiayai proyek-proyek
pemerintah.
Pada periode 1999 hingga 2004, BI menjadi bank sentral yang
independen disertai penguatan akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas
pembentukan BSBI.
Dalam
menjalankan fungsinya, BI didukung oleh beberapa UU terkait dan bersinergi
dengan institusi lain.
- UU Bank Indonesia merupakan landasan dalam menjalankan fungsi Moneter.
- Untuk fungsi SP tunai, BI didukung oleh UU Mata Uang sedangkan fungsi SP non tunai didukung oleh UU Transfer Dana, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen, UU PT (penyelenggara SP), UU PPTPPU, UU Perbankan dan Perbankan Syariah.
- Dalam menjalankan fungsi di bidang makroprudensial, BI didukung oleh UU LLD & SNT, UU Keuangan Negara & UU Perbendaharaan Negara, UU SUN/UU SBSN, UU PPKSK, UU OJK dan UU LPS.
- Perlunya kejelasan mandat dan adanya legal protection yang cukup bagi masing-masing lembaga yang berada dalam KKSK.
- Dalam kaitan BI sebagai lender of the last resort (LoLR), BI harus memiliki fasilitas bail out lain selain PLJP. Sifat UU KSSK yang lebih cenderung bail in disarankan dilengkapi dengan mekanisme dan fasilitas yang bersifat bailout. Fasilitas yang dikeluarkan oleh BI seyogyanya memiliki jaminan dari pemerintah.
- Tindakan preventif dan preemtif perlu terus dilakukan khususnya melalui pendalaman pasar keuangan sehingga perbankan atau lembaga keuangan yang memiliki masalah dapat memanfaatkan pasar uang yang ada sebelum memanfaatkan fasilitas LoLR yang disediakan oleh BI.
- Volume sangat besar dan pertumbuhan yang tinggi, namun infrastruktur terbatas akibat keberadaaan Indonesia sebagai negara kepulauan.
- Isu kualitas uang dan campuran denominasi (denominational mix) terkait perubahan preferensi kebutuhan uang pecahan kecil. Bank Sentral secara umum punya sistem penyediaan pecahan uang dengan dasar perhitungan pecahan 1.2.5.
- Kesulitan sirkulasi dan penarikan uang dengan pecahan kecil. Semakin besar pecahan membutuhkan fitur keamanan yang lebih tinggi dan jarang berpindah tangan.
- Level otomasi yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan
- Kebijakan clean note policy, dimana bank sentral dihadapkan pada pilihan implementasi at all cost atau strategi lain untuk efisiensi cost.
Dengan adanya
dasar-dasar hukum tersebut maka pelaksanaan tugas BI seharusnya tidak menemui
kendala dalam menjalankan
tugas mengawal perekonomian Indonesia.
2. Arah
Kebijakan BI dalam mendorong Stabilitas Ekonomi Makro
Kestabilan harga dan sistem keuangan dipandang penting karena merupakan
fondasi dasar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Merujuk
pada analisa global economist dari IMF (silakan buka https://www.imf.org/en/Publications/WEO/Issues/2020/01/20/weo-update-january2020), global economic landscape saat ini dan ke depan masih belum
menggembirakan (to slow for too long). Disamping itu, domestic economic landscape masih memiliki masalah jangka pendek (pro-cyclicallity) dan
banyak problem yang bersifat struktural khususnya di level mikro.
Untuk itu Policy Mix (bauran kebijakan sektor keuangan: sektor riil dan sektor
keuangan) menjadi opsi terbaik dalam kebijakan moneter. Prinsip
kebijakan moneter yang dianut saat ini adalah kebijakan harus sustainable,
konsisten, dan sinergi dengan kebijakan lain
khususnya fiskal. Policy Mix tetap menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai basisnya yaitu kestabilan harga tetap menjadi tujuan utama kebijakan
moneter mengingat faktanya negara yang menerapkan ITF
lebih resilien (kebal) dan memiliki ruang kebijakan yang lebih luas
dalam kebijakan stabilisasi dibanding negara yang non ITF.
ITF yang dianut oleh Bank Indonesia menetapkan satu sasaran
utama yaitu inflasi sebagai prioritas pencapaian dan acuan
kebijakan. Disamping bersifat forward looking dengan tetap
mengikatkan diri pada rule based namun cukup fleksible dalam
operasionalnya serta tetap menempatkan good governance (memiliki tujuan yg jelas, transparan, akuntabel dan kredibel) sebagai prioritas.
Berdasarkan persamaan Harrod Dynamic Trade Multiplier yaitu Pertumbuhan Ekonomi (gPDB) ditentukan
oleh faktor pertumbuhan ekspor (gX) dan impor (gM) membawa konsekuensi logis berupa tuntutan untuk
memperkuat dan memperbesar pertumbuhan ekspor dengan pemanfaatan teknplogi yang
tepat untuk pengendalian impor. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang
sustainabel, diperlukan pertumbuhan export yang lebih besar dibandingkan
keinginan untuk mengimpor. Diharapkan pertumbuhan inflasi yang terkendali
sehingga dapat menjaga daya beli mayarakat sehingga mampu mendukung kegiatan
produktifitas di sektor riil dan ekspor meningkat yang pada akhirnya mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustain. Walaupun
banyak persoalan di sisi mikro yang harus diselesaikan, kebijakan makro dengan
dosis yang tepat dapat membantu pemerintah untuk menyusun fondasi mikro yang
kuat dan sehat.
Mengenai Harrod Dynamic Trade Multiplier, silakan baca artikel berjudul IMPORT AND EXPORT RATIOS AND THE DYNAMIC HARROD
TRADE MULTIPLIER PETER G. McGREGOR, J. K. SWALES,
Oxford Economic Papers, Volume 35, Issue 1, March 1983, Pages
110–124, https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.oep.a041574
3. Arah
Kebijakan BI dalam mendorong Stabilitas Sistem Keuangan
Upaya menjaga stabilitas makroekonomi
perlu didukungan kestabilan Sistem
Keuangan. Krisis global membuktikan ketidakmampuan otoritas dalam mengidentifikasi potensi risiko yang bersumber dari Sistem Keuangan dapat menyebabkan eskalasi risiko dan kerugian bagi
perekonomian (silakan baca https://www.thebalance.com/2008-financial-crisis-3305679).
Arah kebijakan BI dalam konteks makroprudensial, diarahkan untuk memitigasi
risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas
agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Per definisi, Kebijakan
Makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko
sistemik.
Kebijakan makroprudensial dikeluarkan oleh Bank
Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan mencegah serta
mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi di sektor
keuangan dan moneter. Oleh sebab itu, untuk mendukung kebijakan
makroprudensial, Bank Indonesia masih
memiliki kewenangan melakukan pengawasan/pemeriksaan bank khususnya bank yang
dikategorikan domestic systemically important banks (D-SIBs).
Pengawasan tersebut dilakukan
untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Bank Indonesia
perlu bersinergi dengan institusi atau otoritas lainnya seperti OJK dan LPS
dalam memberikan pengaturan dan pengawasan kebijakan di sektor keuangan khususnya menghilangkan dikotomi
kebijakan makro dan mikro prudensial. Kebijakan
Makroprudensial tersebut diharapkan terus mampu menjaga inflasi yang akan
mendukung pertumbuhan ekonomi.
Untuk menghadapi krisis
keuangan dimasa mendatang, upaya mencapai penanganan
kriss keuangan disinergikan dan koordinasikan oleh Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Departemen Keuangan RI,
Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia dan OJK.
Terkait dengan
upaya meningkatkan kepercayaan pasar internasional terhadap sistem keuangan
Indonesia, BI turut serta dalam program Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang dimotori oleh World Bank.
4. Arah
Kebijakan BI dalam mendorong Stabilitas Sistem Pembayaran
Evolusi perkembangan
instrumen pembayaran dari barter kini telah sampai pada tahap virtual currency
yang ditandai dengan perkembangan pesat dari inovasi teknologi digital. Evaluasi evolusi instrumen pembayaran didorong oleh perkembangan teknologi,
kebutuhan masyarakat terhadap infrastruktur yang cepat dan murah
namun belum tentu aman, oleh karenanya
BI
kewajiban utk memastikan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran khususnya perlindungan konsumen.
Landscape sistem pembayaran retail non tunai yang telah disusun mencakup
instrumen, infrastruktur, mekanisme, lembaga jasa sistem pembayaran dan
perangkat pengaturan. Tantangan dari
sistem pengaturan harus mampu mengakomodir inovasi, meningkatkan keamanan level
of playing field dan perlindungan konsumen.
Mempertimbangkan
bahwa digital innovation khususnya FinTech dapat dikategorikan sebagai
disruptive business bagi bisnis perbankan, Bank Indonesia
memiliki kepentingan terhadap pengaturan untuk industri FinTech.
Metode yang dipakai
untuk melakukan pengaturan yaitu
berupa regulatory Sandbox untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan manajemen risiko. Dalam regulatory SandBox,
kebijakan yang akan diambil disusun menjadi prototype untuk dapat di-exercise khususnya perlindungan konsumen. Dengan metode regulatory sandbox tersebut maka fungsi, tugas, kewenangan, dan tanggung jawab
BI di bidang Pengawasan Sistem Pembayaran diharapkan dapat menyikapi laju FinTech, baik secara evolusi maupun jika revolusi
perkembangan Teknologi Finansial yang merupakan perpaduan inovasi dalam bidang
keuangan dan teknologi. Artinya pelaku FinTech bisa mengeluarkan pilot project dan
sebagainya. Harapannya bisa ikut membangun FinTech dengan berkesinambungan namun tetap mengikuti regulasi yang ada.
Diharapkan pengembangan FinTech di Indonesia bisa mencontoh
negara lain yang sudah sukses. Apalagi saat ini lembaga keuangan juga dituntut
untuk memberikan pelayanan yang lebih mudah dan murah dengan memanfaatkan
teknologi.
Terkait dengan uang digital, Bank Indonesia mencanangkan adanya piloting program agar secara dini dapat
diformulasikan respon kebijakan yang tepat atas isu dimaksud. BI saat ini telah dilakukan percobaan
implementasi block chain sbg
pengganti RTGS, namun hasilnya belum memuaskan.
Secara lengkap, kebijakan Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran terangkum dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Silakan buka https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/SP_214019.aspx
5. Arah
Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengelolaan Uang Rupiah
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan
dalam pengelolaan uang rupiah. Kewenangan tersebut didasari landasan hukum
antara lain UUD Negara RI tahun 1945 pasal 238, UU No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, dan UU No. 7 tahun 2011.
Pengelolaan Uang Rupiah (PUR)
dilakukan melalui 6 tahapan yaitu: perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan.
Dalam perencanaan
pencetakan uang, BI berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan bahkan Kementrian
Koordinator Perekonomian, dan setelah memperoleh kesepakatan maka proses
pemesanan cetak uang dapat dikirimkan ke PERURI.
Adapun pencetakan uang rupiah
harus dilakukan di dalam negeri dengan menunjuk PERURI sebagai pelaksananya.
Apabila PERURI tidak sanggup untuk melaksanakan pencetakkan maka BI dapat
meminta pihak lain untuk mencetak uang dengan tetap berkoordinasi dengan
PERURI.
Khusus di tahapan pemusnahan uang, BI harus melaporkan hasil pemusnahan
uang ke DPR dan Kementrian Keuangan sebagai wujud pertanggung-jawaban
Tantangan yang
dihadapi dalam pengelokaan uang Rupiah adalah sebagai berikut :
Dalam
pengelolaan terdapat 2 mashab yaitu centralized dan delegated tergantung
kemampuan masing2 bank sentral dengan pertimbangan authentication, cost,
efficiency, fitness (kualitas/clean money policy) dan reputation. Keyakinan
(risk management handling) terhadap hal-hal tersebut mempengaruhi keputusan
setiap bank sentral.
Kondisi saat
ini berdasarkan survey AT Kearney tahun 2015, BI harus memperhatikan 2 isu
utama yaitu:
1. Isu coverage pengedaran uang yang paling utama
2. Fitness dari sisik uang Rupiah menjadi hal penting lain yang harus
diperhatikan
Kebijakan PUR
ke depan fokus pada :
1. Peningkatan kualitas uang rupiah di masyarakat (opsi
mengunakan bahan/materialdurable)
2. Optimalisasi jaringan distribusi uang nasional
3. Melaksanakan pengawasan perusahaan perusahaan jasa
pengolahan uang rupiah (PJPUR) berijin
4. Meningkatkan public awareness terutama dalam
menggunakan dan merawat uang Rupiah
6. Kerjasama dan
Kebijakan Internasional Bank Indonesia
Kegiatan diplomacy yang dilakukan oleh Departemen
International ditujukan untuk mendukung kepentingan BI dan/atau kebijakan
ekonomi Indonesia serta ditujukan untuk menjaga persepsi positif ekonomi
Indonesia di tingkat internasional. Dengan adanya acuan tersebut ruang lingkup
kebijakan internasional dibagi dalam 2 bagian yaitu
1. Dimensi Internasional
Kebijakan Utama (DIKU), yang merupakan upaya untuk memperkuat kebijakan utama
Bi dalam mengantisipasi dan memitigasi
dampak spillover internasional dalam
rangka pemcapaian stabilitas makroekonomi dan system keuangan
2. Kepentingan Bank Indonesia
(KEBI), yang merupakan kebijakan untuk memperjuangkan kepentingan BI dan/atau
ekonomi Indonesia di tingkat internasional
Bank Indonesia juga berperan sebagai agent of
diplomacy mewakili Indonesia di fora internasional untuk memperkuat kebijakan perekonomian
dalam atau internasional dalam rangka pencapaian stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan serta untuk memperjuangkan kepentingan Bank Indonesia dan/atau
ekonomi Indonesia di tingkat internasional. Dalam melaksanakan diplomacy internasional
tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
terkait lainnya. Koordinasi tersebut tidak hanya dilakukan di dalam negeri
namun juga dilakukan di luar negeri melalui Kantor Perwakilan yang berada di
Luar Negeri.
Menghadapi dinamika internasional, Bank Indonesia memposisikan
diri sebagai lead dalam perumusan
posisi nasional di berbagai fora internasional. Lebih jauh, BI perlu menjaga
persepsi positif terkait perekonomian Indonesia karena dapat mempengaruhi iklim
investasi. Persepsi positif akan menurunkan credit
risk sehingga cost of fund
Indonesia menjadi lebih murah. Persepsi positif tersebut dapat tercermin dari sovereign credit rating yang
merefleksikan kemampuan dan kemauan suatu negara untuk membayar sovereign debt. Persepsi positif juga
dapat tercermin dari laporan asesmen lembaga internasional terhadap
perekonomian dan sistem keuangan Indonesia.
Bank Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
khususnya dalam menjaring pendanaan LN dalam bentuk investasi telah membentuk
link GIRU-IRU-RIRU. Koordinasi GIRU-IRU-RIRU melibakan Kementrian dan lembaga
pemerintah terkait serta Pemerintah daerah selaku pemilik proyek. Tugas BI
dalam GIRU-IRU-RIRU memastikan proyek-proyek yang akan didanai memiliki
kriteria clean and clear sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif dari
Negara donor atau investor LN.
7. Peranan Bank
Indonesia dalam Mendukung Kebijakan Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Kerangka Strategis Advisory
Pelaksanaan
tugas Bank Indonesia tersebut di daerah disederhanakan menjadi 9 fungsi utama Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN). 9 fungsi KPWDN yaitu Fungsi
Asesmen Ekonomi & Surveilans; Fungsi
Data & Statistik Ekonomi Keuangan; Fungsi
Koordinasi & Komunikasi Kebijakan; Fungsi
Pelaksanaan Pengembangan UMKM; Fungsi
Perizinan & Pengawasan SP PUR; Fungsi
Analisis SP & PUR; Fungsi Pengelolaan Uang Rupiah
(PUR); Fungsi operasional Sistem
Pembayaran (SP); dan Fungsi layanan pendukung internal.
Fungsi Strategic
Adviser KPwDN adalah pemberian guidance kepada Pemda melalui hasil research yang tepat guna
tentang hal-hal yang diperlukan di daerah. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui FGD dengan stakeholders di daerah dengan memperhatikan lingkungan strategis di
wilayahnya. Hal tersebut dilakukan dengan prinsip bukan hanya angka tetapi
pemahaman yang mendalam mengenai informasi yang disampaikan, dilakukan oleh
suatu tim yang capable dan kompeten, menghindari aspek politik, dan selalu
berupaya untuk transparan.
Dalam
tahapan Strategic Adviser yaitu input
advice, perumusan advice, dan komunikasi advice, KPwDN harus dilalui secara taat
azas dengan mempertimbangkan keberadaan dan concern dari Stakeholder Kunci, Stakeholder
Utama, dan Stakeholder Pendukung.
Last but not least ... Mudah-mudahan tulisan yang sekelumit ini mencerahkan kembali pemahaman kita akan keberadaan Bank Sentral dalam perekonomian Indonesia.
Salam Nyata Berkarya untuk Negeri
#perpustakaanbankindonesia #worldbookday #shareamillionstories #digitallearning
Komentar
Posting Komentar